Selasa, 08 Januari 2013

Kisah Cinta Sayyidina Ali ibnu Thalib dengan Fatimah Azzahra

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali
yang tak dikisahkannya pada
siapapun.
Fathimah karib kecilnya, puteri
tersayang dari Sang Nabi yang
adalah sepupunya itu, sungguh
memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya,
kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari
ketika ayahnya pulang dengan
luka memercik darah dan kepala
yang dilumur isi perut unta. Ia
bersihkan hati-hati, ia seka
dengan penuh cinta. Ia bakar
perca, ia tempelkan ke luka untuk
menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata
gerimis dan hati menangis.
Muhammad bin ’Abdullah Sang
Tepercaya tak layak diperlakukan
demikian oleh kaumnya! Maka
gadis cilik itu bangkit. Gagah ia
berjalan menuju Ka’bah. Di sana,
para pemuka Quraisy yang semula
saling tertawa membanggakan
tindakannya pada Sang Nabi tiba-
tiba dicekam diam. Fathimah
menghardik mereka dan seolah
waktu berhenti, tak memberi
mulut-mulut jalang itu
kesempatan untuk menimpali.
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa
disebut cinta. Tapi, ia memang
tersentak ketika suatu hari
mendengar kabar yang
mengejutkan. Fathimah dilamar
seorang lelaki yang paling akrab
dan paling dekat kedudukannya
dengan Sang Nabi. Lelaki yang
membela Islam dengan harta dan
jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya
tak diragukan; Abu Bakr Ash
Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu
batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa
apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi? Abu
Bakar lebih utama, mungkin
justru karena ia bukan kerabat
dekat Nabi seperti ’Ali, namun
keimanan dan pembelaannya
pada Allah dan RasulNya tak
tertandingi. Lihatlah bagaimana
Abu Bakar menjadi kawan
perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas
menggantikan beliau untuk
menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu
Bakar berda’wah. Lihatlah berapa
banyak tokoh bangsawan dan
saudagar Makkah yang masuk
Islam karena sentuhan Abu Bakar;
’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf,
Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi
Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak
mungkin dilakukan anak-anak
kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak
Muslim yang dibebaskan dan para
faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal,
Khabbab, keluarga Yassir,
’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa
budak yang dibebaskan ’Ali? Dari
sisi finansial, Abu Bakr sang
saudagar, insya Allah lebih bisa
membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari
keluarga miskin. ”Inilah
persaudaraan dan cinta”, gumam
’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakar
atas diriku, aku mengutamakan
kebahagiaan Fathimah atas
cintaku.”
"Cinta tak pernah meminta untuk
menanti. Ia mengambil
kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau
pengorbanan." Ucap Ali
Beberapa waktu berlalu, ternyata
Allah menumbuhkan kembali
tunas harap di hatinya yang
sempat layu.
Lamaran Abu Bakar ditolak. Dan
’Ali terus menjaga semangatnya
untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum
berakhir. Setelah Abu Bakar
mundur, datanglah melamar
Fathimah seorang laki-laki lain
yang gagah dan perkasa, seorang
lelaki yang sejak masuk Islamnya
membuat kaum Muslimin berani
tegak mengangkat muka, seorang
laki-laki yang membuat syaithan
berlari takut dan musuh- musuh
Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al
Faruq, sang pemisah kebenaran
dan kebathilan itu juga datang
melamar Fathimah. ’Umar
memang masuk Islam
belakangan, sekitar 3 tahun
setelah ’Ali dan Abu Bakar. Tapi
siapa yang menyangsikan
ketulusannya? Siapa yang
menyangsikan kecerdasannya
untuk mengejar pemahaman?.
Siapa yang menyangsikan semua
pembelaan dahsyat yang hanya
’Umar dan Hamzah yang mampu
memberikannya pada kaum
muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali
mendengar sendiri betapa
seringnya Nabi berkata, ”Aku
datang bersama Abu Bakar dan
’Umar, aku keluar bersama Abu
Bakar dan ’Umar, aku masuk
bersama Abu Bakar dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di
sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana
dia berhijrah dan bagaimana
’Umar melakukannya. ’Ali
menyusul sang Nabi dengan
sembunyi-sembunyi, dalam
kejaran musuh yang frustasi
karena tak menemukan beliau
Shallallaahu ’Alaihi Wassalam.
Maka ia hanya berani berjalan di
kelam malam. Selebihnya, di siang
hari dia mencari bayang-bayang
gundukan bukit pasir. Menanti
dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat
sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali,
lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini
putera Al Khaththab akan
berhijrah. Barang siapa yang
ingin isterinya menjanda, anaknya
menjadi yatim, atau ibunya
berkabung tanpa henti, silakan
hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali,
sekali lagi sadar. Dinilai dari
semua segi dalam pandangan
orang banyak, dia pemuda yang
belum siap menikah. Apalagi
menikahi Fathimah binti
Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali
ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk
menanti. Ia mengambil
kesempatan. Itulah keberanian,
atau mempersilakan. Yang ini
pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu
meruyak. Lamaran ’Umar juga
ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang
dikehendaki Nabi?.
Yang seperti ’Utsman sang
miliarderkah yang telah menikahi
Ruqayyah binti Rasulillah?.
Yang seperti Abul ’Ash ibn
Rabi’kah, saudagar Quraisy itu,
suami Zainab binti Rasulillah?.
Ah, dua menantu Rasulullah itu
sungguh membuatnya hilang
kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya
’Abdurrahman ibn ’Auf yang
setara dengan mereka. Atau
justru Nabi ingin mengambil
menantu dari Anshar untuk
mengeratkan kekerabatan
dengan mereka? Sa’d ibn
Mu’adzkah, sang pemimpin Aus
yang tampan dan elegan itu? Atau
Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin
Khazraj yang lincah penuh
semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang
mencoba kawan?”, kalimat
teman-teman Ansharnya itu
membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba
melamar Fathimah? Aku punya
firasat, engkaulah yang ditunggu-
tunggu Baginda Nabi.. ””Aku?”,
tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau
wahai saudaraku!””Aku hanya
pemuda miskin. Apa yang bisa
kuandalkan?””Kami di
belakangmu, kawan! Semoga
Allah menolongmu!”’
Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri,
disampaikannya keinginannya
untuk menikahi Fathimah. Ya,
menikahi. Ia tahu, secara ekonomi
tak ada yang menjanjikan pada
dirinya. Hanya ada satu set baju
besi di sana ditambah persediaan
tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga
tahun untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta Fathimah
menantikannya di batas waktu
hingga ia siap? Itu sangat
kekanakan. Usianya telah
berkepala dua sekarang.”Engkau
pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu
nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap
bertanggungjawab atas cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko
atas pilihan- pilihannya. Pemuda
yang yakin bahwa Allah Maha
Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa
sahlan!” Kata itu meluncur tenang
bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa
maksudnya? Ucapan selamat
datang itu sulit untuk bisa
dikatakan sebagai isyarat
penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung
untuk menjawab. Mungkin tidak
sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu
resiko. Dan kejelasan jauh lebih
ringan daripada menanggung
beban tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi menyimpannya
dalam hati sebagai bahtera tanpa
pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan?
Bagaimana
lamaranmu?””Entahlah..””Apa
maksudmu?””Menurut kalian
apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti
sebuah jawaban!””Dasar tolol!
Tolol!”, kata mereka,”Eh, maaf
kawan.. Maksud kami satu saja
sudah cukup dan kau
mendapatkan dua! Ahlan saja
sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan
kau mendapatkan Ahlan wa
Sahlan kawan! Dua-duanya berarti
ya !”Dan ’Ali pun menikahi
Fathimah.
Dengan menggadaikan baju
besinya. Dengan rumah yang
semula ingin disumbangkan ke
kawan-kawannya tapi Nabi
berkeras agar ia membayar
cicilannya.
Itu hutang.Dengan keberanian
untuk mengorbankan cintanya
bagi Abu Bakar, ’Umar, dan
Fathimah. Dengan keberanian
untuk menikah. Sekarang. Bukan
janji-janji dan nanti-nanti.
Subhanallah,
’Ali adalah gentleman sejati. Tidak
heran kalau pemuda Arab
memiliki yel, “Laa fatan illa
‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali
Ali!” Inilah jalan cinta para
pejuang. Jalan yang
mempertemukan cinta dan semua
perasaan dengan tanggung
jawab. Dan di sini, cinta tak
pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali. Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah
pengorbanan. Yang kedua adalah
keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga
yang dilakukan oleh Putri Sang
Nabi, dalam suatu riwayat
dikisahkan bahwa suatu hari
(setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum
menikah denganmu. Aku pernah
satu kali jatuh cinta pada seorang
pemuda ”‘Ali terkejut dan berkata,
“kalau begitu mengapa engkau
mau manikah denganku? dan
Siapakah pemuda itu?”Sambil
tersenyum Fathimah berkata, “Ya,
karena pemuda itu adalah
Dirimu.”
Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wassalam bersabda: “
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
memerintahkan aku untuk
menikahkan Fatimah puteri
Khadijah dengan Ali bin Abi
Thalib, maka saksikanlah
sesungguhnya aku telah
menikahkannya dengan
maskawin empat ratus Fidhdhah
(dalam nilai perak), dan Ali ridha
(menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wassalam. mendoakan
keduanya: “Semoga Allah
mengumpulkan kesempurnaan
kalian berdua, membahagiakan
kesungguhan kalian berdua,
memberkahi kalian berdua, dan
mengeluarkan dari kalian berdua
kebajikan yang banyak.”
(Kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah
2:183, Bab 4).
Subhanallah,,
Sungguh Kisah yang Indah,
jawaban dari sebuah penantian
jua harapan,,
Semoga tumbuh semangat dijiwa-
jiwa yang ingin menyempurnakan
Agama Allah,,,
Menjemput Cinta dijalan Allah,,
Aamiin :)
Seperti Kata Sydina Ali, "Cinta tak
pernah meminta untuk menanti,
Ia mempersilahkan Jiwa untuk
menjemputnya dengan niat
mengharapkan Keutuhan Cinta
dihadap Allah azzaWajallah".
Subhanallah..
Semoga Membawa Manfaat
Sahabat,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar